Nama : Maria Febrianti Gaso Badeoda(18116098)
Kelas  : 2ka19 Salemba
Tugas III
Mata Kuliah : Manajemen Layanan Sistem Informasi




 STUDI KASUS PELAYANAN FARMASI

Studi Kasus

Salah satu kelebihan tenaga kesehatan kita yang telah lama melalang buana diberbagai tempat produksi, distribusi, maupun pelayanan kefarmasian adalah banyak mengetahui kondisi riil di lapangan tentang dunia farmasi saat ini. Ditempat kerja terdahulu tentunya memiliki kebijakan yang berbeda dengan tempat kerja sekarang, dalam hal melakukan praktik pekerjaan kefarmasian. Ada hal-hal yang sifatnya postitif, tapi tidak sedikit pula hal negatif yang menjadi pengalaman seorang tenaga kefarmasian. Oleh karenanya kita harus terus belajar, berharap dengan demikian dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Jangan sampai masuk zona abu-abu, apalagi terperosok ke lembah hitam. Untuk bahan pembelajaran kali ini, kita akan mempelajari studi kasus mengenai batasan menjadi penanggung jawab dan praktek monopoli dibidang farmasi.

Praktek Monopoli dibidang Farmasi.

Sebagai seorang yang berkecimpung didunia kesehatan terutama seorang ahli farmasi, maka banyak sekali pilihan dunia kerja yang bisa kita pilih dan tekuni. Alam kasus ini , Indra yang bekerja di apotek “AA” sebagai APA (apoteker Pengelola Apotek” dan hanya datang ke apotek AA satu kali seminggu untuk memeriksa dan mengkontrol apotek tersebut. Namun di sisi lain , Indra juga menjadi Penanggung Jawab (PJ) pada Pedagang Besar Farmasi C. Sedangkan ,diatur dalam peraturan tersebut bahwa SIPA atau SIKA hanya boleh untuk satu fasilitas kefarmasian, artinya satu apoteker hanya boleh memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) dan Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA) untuk bekerja di dua tempat yang berbeda , hanya untuk satu tempat dan satu profesi saja.

            Yang kedua adalah  kesepakatan yang dilakukan oleh pihak Apotek dan PBF(Pedagang Besar Farmasi), dimana keduanya mengadakan perjanjian kerjasama yang diwakili oleh Indra agar mendapatkan keuntungan lebih dibanding melalui prosedur normal.
Dari sini, dapat ditemukan titik pelanggaran yang dilakukan. Namun tentunya akan terasa tidak akurat bila kita menyimpulkan hal tersebut sebagai sebuah pelanggaran tanpa adanya dasar.
Jenis Pelanggaran yang dilakukan

Ada dua hal yang menjadi pokok permasalahan dalam kasus tersebut, berikut permasalahan yang dilakukan :
1.      Yang pertama adalah masalah penanggung jawab, dimana Apoteker A menjadi APA ( Apoteker Pengelola Apotik ) di Apotek B dan juga sekaligus menjadi PJ ( Penanggung Jawab ) di Pedagang Besar Farmasi C.
2.      Yang kedua adalah pada masalah kesepakatan yang dilakukan oleh pihak Apotek dan PBF (Pedagang Besar Farmasi ), dimana keduanya mengadakan perjanjian kerjasama agar mendapatkan keuntungan lebih dibanding melalui prosedur normal.

Dasar Hukum Pelanggaran
Dalam Studi kasus yang pertama perbuatan yang dilakukan oleh apotekermerupakan pelanggaran karena bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, yang dalam hal ini diatur dalam Pasal 18 Permenkes No.889 Tahun 2011, Pasal 14 UU No.5 Tahun 1999, Pasal 15 ayat (3).

a.       Pasal 18 Permenkes 889/2011

Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian. Apoteker adalah Sarjana Farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker; Setiap tenaga kefarmasian yang menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat tanda registrasi berupa: Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRK) yang dikeluarkan oleh Komite Farmasi Nasional (KFN). Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK) yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
STRK dan STRKTT berlaku untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat diregistrasi ulang selama memenuhi persyaratan. Persyaratan untuk memiliki STRK meliputi:
·      memiliki ijazah Apoteker;
·      memiliki sertifikat kompetensi profesi;
·      memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker;
·      memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik; dan
·      membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
Persyaratan untuk memiliki STRKTT:
·      memiliki ijazah sesuai dengan pendidikannya;
·      memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik;
·      memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari Apoteker yang telah memiliki STRA, atau pimpinan institusi pendidikan lulusan, atau organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian; dan
·      membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika kefarmasian.
Apoteker warga negara asing lulusan luar negeri yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian di Indonesia dalam rangka alih teknologi atau bakti sosial harus memiliki STRA Khusus yang dikeluarkan KFN dan berlaku selama 1 Tahun.
Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Surat izin yang dimaksud berupa:
·      Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)
·      Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA)
·      Surat Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian (SIKTTK)
Peraturan ini juga mengatur tentang Komite Farmasi Nasional (KFN). KFN adalah lembaga yang dibentuk oleh Menteri Kesehatan yang berfungsi untuk meningkatkan mutu Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas kefarmasian
Peraturan Menteri ini mencabut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 184/Menkes/Per/II/1995 tentang Penyempurnaan Pelaksanaan Masa Bakti dan Izin Kerja Apoteker dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 679/Menkes/SK/V/2003 tentang Registrasi dan Izin Kerja Asisten Apoteker. Keduanya dinyatakan tidak berlaku sejak tanggal 3 Mei 2011.

b.      Pasal 14 UU 5/99

Pasal 14 UU nomor 5 tahun 1999 mengenai integrasi vertikal berisi :
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang lain yang bertujuan untuk menguasai sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat”.

c.       Pasal 15 ayat 3

Ketentuan Pasal 15 Ayat 3 mengatur suatu perjanjian mengenai persyaratan tertentu, yang mengikat pembeli supaya dia bisa memasok barang atau jasa dari produsen dengan pemberian harga atau potongan harga yaitu melalui suatu perjanjian eksklusif.




Pembahasan Pelanggaran Pertama

Pelanggaran yang pertama yaitu mengenai penanggung jawab. Diketahui bahwa seorang apoteker harus memiliki izin Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA), yang mana merupakan tanda bukti bahwa yang bersangkutan telah resmi teregistrasi sebagai salah seorang tenaga kefarmasian yaitu Apoteker. Disamping STRA, apoteker juga harus memiliki izin lain ketika hendak melakukan pekerjaan kefarmasian di tempat tertentu. Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA), diperlukan apabila bekerja di tempat fasilitas pelayanan kefarmasian. Sedangkan Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA), wajib dimiliki ketika melakukan praktek di fasilitas produksi ataupun distribusi / penyaluran kefarmasian.
Dalam kasus ini Apoteker A tidak hanya praktek di Apotek tetapi juga di PBF, sehingga memiliki tidak hanya SIPA APA Apotek tetapi juga memiliki SIKA PJ PBF. Perbuatan ini disebut pelanggaran karena bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, yang dalam hal ini diatur dalam Pasal 18 Permenkes 889/2011. Diatur dalam peraturan tersebut bahwa SIPA atau SIKA hanya boleh untuk satu fasilitas kefarmasian, artinya satu apoteker hanya boleh memiliki SIPA atau SIKA untuk satu tempat saja. Bukan boleh memiliki SIPA dan SIKA untuk satu tempat kerja. Berbeda maknanya kalau begitu.
Dengan begini sudah jelas apa dasar dari perbuatan pelanggaran tersebut. Sekarang kenapa hal tersebut bisa terjadi, memiliki dua izin sekaligus? Yang bisa menjawab adalah pihak Dinkes Kab/Kota, Dinkes Provinsi, dan BPOM; karena merekalah yang terlibat dalam proses penerbitan perizinan tersebut. Hal ini merupakan solusi terhadap pelanggaran jenis ini. Namun bila pihak terkait telah dimintai keterangan tetapi tidak menanggapi dengan benar, bisa kita lanjutkan permasalahan ini ke OMBUDSMAN.
Pembahasan Pelanggaran Kedua

Jadi untuk masalah yang kedua adalah perjanjian kerjasama antara Apotek dan PBF. Dasar dari pelanggaran tindakan ini adalah Pasal 14 UU No. 5 tahun 1999. Pasal tersebut melarang yang namanya integrasi vertikal, yaitu perbuatan pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan tujuan menguasai produksi sejumlah produk dalam suatu rangkaian produksi baik berupa barang ataupun jasa yang mana rangkaian produksi tersebut adalah hasil dari pengolahan atau proses berkelanjutan, baik langsung atau tidak langsung, sehingga membuat terjadinya persaingan usaha tidak sehat ataupun juga merugikan masyarakat.
Sebenarnya untuk sebuah kasus yang melibatkan sebuah perjanjian, kita harus menyimak benar-benar isi dari perjanjian tersebut. Tapi disini kita bisa berpatokan pada suatu kenyataan yang kita ketahui, yaitu ada perjanjian antara Apotek dan PBF berupa fee bagi apoteker, dimana Apotek dan PBF merupakan bagian dari proses penyaluran / distribusi kefarmasian yang berkelanjutan hingga ke klinik atau rumah sakit sebagai tujuan akhir maksud perjanjian tersebut. Secara jelas hal tersebut dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, tergantung bagaimana fee tersebut digunakan untuk menimbulkan kerugian terhadap masyarakat.
Jadi disimpulkan bahwa pelanggaran yang terjadi adalah tindak pidana berupa integrasi vertikal. Namun tentunya akan lebih jelas bila keseluruhan dokumen diketahui, sehingga kemungkinan pelanggaran bisa dianalisis dengan lebih tepat. Misalnya saja mungkin bisa dikaitkan dengan perjanjian tertutup yang diatur dalam pasal 15 ayat (3).
Untuk solusinya sebaiknya gunakanlah media Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Disini kita hanya melaporkan selengkapnya hal yang kita tahu saja, dan akan dijamin kerahasiaannya. Selanjutnya KPPU akan menindaklanjuti laporan kita, mulai dari memanggil para saksi; meminta dokumen; memutuskan perbuatan tersebut benar atau salah; hingga melanjutkan berkas ke kepolisian sebagai bahan penyelidikan tindakan pidana. Jadi daripada melaporkan kepolisi yang belum tentu kebenarannya lebih baik laporkan terlebih dahulu ke KPPU agar tidak terjadi tuntutan balik karena salah paham. Pelanggaran integrasi vertikal ini bisa dikenakan denda minimal 25 milyarrupiah. Tentunya itu pidana pokoknya, selain itu pidana juga harus membayar tindakan adminstratif dan pidana tambahan untuk pelakunya.
Tenaga Teknis Kefarmasian

Tenaga kefarmasian (apoteker,analisis farmasi, asisten apoteker)
Tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan /melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian/kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan. Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati pasien. Seseorang Asisten apoteker harus berbudi luhur dan memberikan contoh yang baik didalam lingkungan kerjanya, bersedia menyumbangkan keahlian dan pengetahuannya. Asisten apoteker harus aktif mengikuti perkembangan perundang-undangan, juga menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya dan hendaknya menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan dirinya yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.
Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. Sedangkan asisten apoteker membentuk ikatan profesi yang berwarna PRAFI ( Persatuan Ahli Farmasi Indonesia) yang  telah ada sebelum ISFI ( ikatan sarjana farmasi Indonesia) didirikan.
Pekerjaan kefarmasian harus dilakukan dalam rangka menjaga mutu sediaan farmasi yang beredar.Pengamanan terhadap sediaan farmasi yang berupa narkotika,psikotropika,obat keras dan bahan berbahaya,dilaksanakan secara khusus sesuai UU yang berlaku. Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan,keluarga,masyarakat,dan lingkungannya.Bahan yang mengandung zat adiktif adalah bahan yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya atau masyarakat sekelilingnya.
Produksi,peredaran dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standard an atau persyaratan yang ditentukan.Penetapan standar diarahkan agar zat adiktif yang dikandung oleh bahan tersebut dapat ditekan untuk mencegah beredarnya obat palsu.Penetapan persyaratan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif ditujukan untuk menekan dan mencegah penggunaan yang mengganggu atau merugikan kesehatan orang lain.

Kekeliruan Dalam Membaca Resep

Dahulu pedagang besar farmasi dilarang menyalurkan psikotropika tanpa izin khusus dari Menteri Kesehatan , tetapi sejakdi sahkannya Undang-undang RI nomor 5 Tahun 1997 tentang psikotropika maka pedagang besar farmasi yang menyalurkan psikotropika tidak memerlukan izin khusus lagi. Dalam melayani resep seorang apoteker wajib :
Melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat. Apoteker wajib memberikan informasi:
a.       Yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien.
b.      Penggunaan obat secara tepat , aman resional atas permintaan masyarakat.
Bila terjadi kekeliruan resep , hal ini diatur sebagai berikut :
1.      Apabila apoteker mengganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep.
2.      Apabila dalam hal dimaksud karena pertimbangan tertentu dokter penulis resep tetap dalam pendiriaannya, dokter wajib menyatakan secara tertulis atau membubuhkan tanda tangan nya yang lazim atas resep.

Komentar

Postingan populer dari blog ini